Minggu, 29 Juli 2012

Sebuah Kesempatan

Stasiun kereta sedang sepi hari itu. Hari minggu yang hampir berakhir sepertinya telah berhasil memaksa banyak orang untuk tetap berada di rumah, beristirahat sepuas-puasnya, sebelum akhirnya berkutat kembali dengan kejamnya ibu kota.


pict taken from here

Aku sedang duduk di sebuah kursi yang terbuat dari batang besi mengkilap sambil memegang cangkir plastik berisi kopi yang telah dingin dengan tangan gemetar. Entah sudah berapa puluh kali aku memalingkan kepala ke kanan dan kiri, mencoba mencari tanda-tanda kedatangannya.

Tak lama kemudian, pelan-pelan kudapati dirinya berjalan mendekat sambil menunduk dan bersenandung pelan. Aku mendapati rambut ikalnya semakin panjang dan lebih mengkilap sekarang, sejak terakhir kali kami bertemu tepat sebulan yang lalu di sebuah cafe bernuansa kelam di tengah kota. Wajahnya yang cantik juga sekarang terlihat semakin cantik dengan tidak manusiawi. Iya, memang akan selalu ada alasan untuk bisa mengagumi fisiknya yang hampir sempurna.

Sampai di dekatku, tanpa mengatakan apa-apa, dia lalu duduk di spasi kosong yang ada di sebelahku. Jaket beludru panjang berwarna coklat yang dia kenakan, terjurai halus hingga menutupi sepasang kaki jenjangnya yang mulus hingga ke paha.

Aku lalu mengamatinya. Mengamati dirinya seolah-olah bocah kecil yang baru pertama kali melihat mainan mahal yang dia dapatkan dengan penuh kekaguman, dengan penuh kasih sayang yang teramat besar.

“Kenapa kamu melihat seperti itu?” tiba-tiba dia melirikku melalui ujung matanya.

Aku tidak menjawab, hanya tersenyum. Bersyukur.


Sebuah kereta listrik lewat melintasi rel-rel baja yang berada di depan kami dengan sangat cepat. Suaranya yang bising terdengar seperti orkes tukang besi yang memukul drum dengan asal-asalan, namun tetap terasa penuh harmoni. Dan entah bagaimana caranya, suara itu terdengar nyaman di telingaku yang cukup akrab dengan keheningan beberapa tahun ini.


“Bagaimana kabar dia?” Aku membuka suara, memulai percakapan.

Ada tarikan nafas lumayan panjang sebelum dia menjawab, “tumben kamu nanyain dia? Dia baik-baik aja.”

“Dia tahu kamu datang menemuiku?”

“Tidak. Dia tidak harus tahu. Lagipula aku cuma sebentar.”

“Sebentar? Kamu mau ke mana lagi? Aku sudah menunggu tiga jam lebih di sini.”

Perempuan itu lalu menatap wajahku untuk pertama kalinya sore itu, “sejak kapan kamu mau peduli dengan apa yang aku lakukan? Lagipula, aku tidak pernah meminta kamu untuk menunggu.”

Lalu seketika ada semacam tamparan kuat dari tangan raksasa mabuk yang aku rasakan di dalam hati. “Aku selalu peduli pada kamu. Selalu. Dan aku tahu kamu juga demikian, makanya kamu datang sekarang.”

“Jangan sok tahu.” Jawabnya.

“Aku selalu tahu.”

“Lalu ke mana aja kamu waktu dulu aku sedang butuh-butuhnya!? Ke mana?! Jawab!” Lagi, emosi menguasai wajah cantik di hadapanku ini. Matanya pun terlihat mulai basah, seperti biasa, seperti tiap kali kami berbicara.

Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Aku tahu, menjawab itu tidak akan membuatnya merasa lebih baik. Mungkin ini hukuman yang harus aku terima atas salah yang pernah aku perbuat di waktu sebelum ini.

“Diam, diam, diam, diam dan diam! Selalu diam! Sampai kapan kamu mau diam seperti itu?!” Teriaknya dengan penuh emosi.

Teriakannya kali ini mampu menarik perhatian sepasang abege yang sedang duduk berduaan tidak jauh dari kami. Aku tahu, saat ini mereka sedang menajamkan pendengaran dan mencoba menyimak diam-diam apa yang sedang kami bicarakan.


“Kamu bertanya sampai kapan? Sampai kamu mau mengerti, kalau aku ini bernafas untukmu. Bertahan hidup demi kamu. Jadi kumohon tetaplah di sini, dan mulai menerimaku.”

“Tidak!” Dia mulai terisak.

“Aku tidak pernah memaksa kamu untuk melakukan apapun, aku hanya ingin kamu mengerti, dan mulai menerima keberadaanku lagi.” Sambungku dengan tangan gemetar. Cangkir plastik yang tadi kugenggam kini telah berada di lantai dan menumpahkan semua isinya. Berantakan.

“Diam!”

“Bukannya kamu yang minta aku untuk berbicara? Ini aku bicara. Ini aku katakan apa adanya.”

Wajahnya memerah. Scraft yang dia pakai untuk melindungi lehernya dari dingin, kini sudah basah oleh air mata. Mulutnya terbuka setengah, namun tak ada kata-kata yang keluar dari sana. Hanya suara isak pelan yang coba dia tahan sejak tadi.

“Katakan apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus berdarah untukmu? Mengorbankan nyawaku? Katakan. Apapun itu.. asal kamu mau mulai mencoba menerimaku.”

Kali ini dia terisak lebih dalam. Badannya menunduk, memeluk kakinya yang dia angkat ke atas kursi. Aku membiarkannya menangis. Membiarkan dia mulai akrab dengan kenyataan, sambil diam-diam berharap kalau akhirnya dia mau mencoba menerima semuanya.


Sebuah kereta listrik melintas cepat dari arah kota. Suara bising itu kembali terdengar. Kebisingan sesaat yang terasa lama dan memaksa aku dan dia untuk diam dan berpikir kembali tentang hitamnya waktu sebelum ini.


“Kenapa kamu harus datang, setelah aku pikir kamu sudah pergi?”

“Karena selamanya kita tidak akan pernah bisa terpisahkan.”

“Nggak! Selama ini aku bisa tanpa kamu. Seharusnya setelah ini aku juga bisa tanpa keberadaan kamu. Aku dan dia bisa hidup tanpa kamu!”

“Tapi aku yang tidak bisa hidup tanpa kamu lagi.”

Dia terdiam kembali.

“Aku bernafas untukmu. Dan biar waktu yang memisahkan kita. Biarkan waktu yang melakukan itu untuk kita. Bukan kamu, dia, atau aku. Atau siapapun.”

Dia masih diam.

“Cobalah mengerti.. karena selamanya rasa ini takkan berhenti.”

Aku lalu memeluknya erat. Dan berharap semoga ini bisa mencairkan semua kebekukan dan melunasi rindu yang sudah sangat besar di antara kami berdua. Dia pun menangis lebih dalam, dan membalas pelukanku dengan lebih erat.

Aku merasa kembali hidup.


Dan aku tahu kau juga merasakan hal yang sama di sana, di balik pilar-pilar raksasa penyangga langit-langit bangunan ini. Aku tahu kau sedang menangis karena dulu pernah memisahkan kami berdua. Aku tahu kau melakukan itu karena kesalahan besarku yang dulu, yang meninggalkanmu.

Tapi aku juga tahu betapa bahagianya kau menyaksikan dua orang yang paling kau sayangi ini sedang berpelukan untuk pertama kali. Aku-suamimu, dan dia-putri kecilmu yang kini sudah secantik kamu.



pict taken from here


cerita pendek ini terinspirasi dari lagu Peterpan - cobalah Mengerti

Selasa, 10 Juli 2012

Jakarta Berharap

Gue benci jerawat di hidung. Tapi lebih dari itu, gue lebih benci sama kemacetan yang nggak kelar-kelar.

Gue benci bau kentut. Tapi lebih dari itu, gue lebih benci sama polusi yang makin parah dari hari ke hari.

Gue benci kalo ngobrol sama orang yang suka muncrat-muncrat. Tapi lebih dari itu, gue lebih benci banjir yang terjadi dari tahun ke tahun di kota ini.

Gue benci sama beberapa orang mantan. Tapi lebih dari itu, gue lebih benci sama ormas-ormas bayaran yang mengatas-namakan agama atau golongan tertentu untuk berbuat seenaknya.


pict from antaranews.com


Besok, 11 Juli 2012, adalah hari di mana seluruh manusia yang telah memegang KTP Jakarta, menunaikan tugasnya untuk memilih pemimpin mereka untuk lima tahun ke depan di TPS-TPS yang sudah anteng berdiri di sudut-sudut tempat tinggal kita.
Mulai dari pemuda, pemudi, om-om, tante-tante, kakek-kakek, nenek-nenek, bahkan mamah-mamah muda, baik yang udah move on ataupun belum, baik yang jarang mandi ataupun tidak, diharapkan menggunakan hak pilihnya untuk menentukan pemimpin yang dikehendakinya, yang pas di hati masing-masing.

Ada enam pasang calon gubernur dan wakilnya yang bisa dipilih. Mereka masing-masing punya janji-janji dan jargon kampanye masing-masing, selain itu mereka juga punya cara-cara dan strategi sendiri buat meraup calon pemilih. Ada yang turun ke grass-roots, ada yang giat di social media, adapula yang memaksimalkan kader dari partai pendukungnya. Gosipnya juga ada yang minta restu sama dukun dan paranormal.

Gue curiga, ini mau nyalonin jadi gubernur apa mau guna-gunain mantan.

Lanjut.. Berbagai macam janji-janji manis nggak lupa diberikan kepada calon pemilih. Mulai dari janji menguraikan macet, menuntaskan banjir, membenahi birokrasi, membangun infrastruktur yang layak dan lain sebagainya.

Yep. Para cagub dan cawagub di masa kampanyenya ini memang nggak lebih seperti orang-orang yang naksir kita di masa PDKT. Beginilah, begitulah, janjiin inilah, janjiin itulah. Dan semua memang terlihat hebat dan terlihat benar. Nggak peduli apapun masa lalu mereka. Nggak peduli apapun latar belakang mereka. Cagub dan cawagub layaknya seorang player handal yang jago nyepik buat menyakinkan buruannya. Dan kadang mereka melakukan segala cara dan upaya. Ada yang baik, ada juga yang curang.

Namun nggak peduli seberapa besarpun rasa tidak percaya kita pada mereka, kita tetap harus memilih. Memilih yang paling baik, yang punya kemungkinan paling besar buat nggak ngecewain kita, yang pada akhirnya bisa bikin kita bahagia. 
Namun ketika pilihan kita akhirnya salah, kita harus ingat, politisi busuk dan pacar brengsek itu memang selalu ada di mana-mana, di kota ataupun di desa. Mereka tersebar secara merata kayak penyebaran orang galau di musim penghujan. Tapi kalau ternyata kenyataan itu muncul setelah kita sudah memilih yang terbaik, ya mungkin memang kita aja yang sial kali ini dan pilihan kita yang memang nggak bener.

Gue sebagai pendatang dari daerah, pengen banget lihat ini Jakarta bisa jadi kota yang lebih pantas untuk ditinggali. Yang bebas dari macet dan banjir, bisa terlepas dari polusi yang kebablasan, dan bisa memberi kehidupan yang layak bagi siapapun yang bernaung di bawah langitnya. 

Gue juga pengen lihat lebih banyak senyum keluar dari masing-masing bibir kita ketika berada di jalanan, lebih banyak sapaan ramah tanpa harus saling mencurigai, lebih banyak kata maaf dan terima kasih ketika berinteraksi antar sesama. Seperti yang sering diajarkan di buku PPKn atau PMP jaman SD dulu. Toleransi, tenggang rasa, gorong royong dan bla bla.
Juga satu lagi, gue berharap uang kos bisa diturunin siapapun gubernurnya (kemudian digebuk Ibu kos).

Well.. Cakep kan yak kalo begitu?

Lepas dari siapapun pemimpin yang akhirnya terpilih nanti, berhasil atau tidaknya Jakarta ini tergantung kita-kita juga yang hidup di dalamnya. Kalau karakter rakyatnya masih kayak sekarang ini, gue yakin Jakarta bisa jadi kota yang lebih layak sekitar 3500 tahun lagi.

Oke, itu barusan lebay. Tapi ya emang sih, baik atau nggaknya Jakarta ke depan, itu lebih tergantung pada kita sebagai penghuninya, dan tidak sepenuhnya pada si pemimpin yang terpilih nanti. Iya nggak? (nyengir)

Jadi besok pagi, gunakan hak pilih yang kamu punya. Saran gue jangan dateng subuh-subuh, karena TPS-nya pasti belom buka. Jangan lupa juga untuk berdoa dan ikut berusaha membangun Jakarta siapapun pemimpinnya.

Semoga kota kita ini bisa jadi tempat yang lebih baik dan nyaman untuk kita tinggali bersama.

Amin.

Sabtu, 07 Juli 2012

Setelah Enam Tahun

Beberapa hari yang lalu, gue tanpa sengaja terlibat percakapan singkat dengan seorang mas-mas di sebuah warung padang.

Ceritanya kita berdua ini sedang menunggu dilayani oleh uda-uda warung padang tersebut. Well, kalimat barusan memang terdengar aneh kalo lo mulai membayangkan si uda-uda tersebut bergaya seperti olga dan memakai pakaian suster dengan belahan rok sepaha. Bukan seperti itu, ini kita cuma sedang nunggu dilayani pesanan makan siang. Oke sip?

Karena bosen nunggu, akhirnya gue iseng ngajak ngobrol mas-mas yang duduk di meja sebelah gue. Mas-mas itu brewokan, kurus dan memakai kacamata berwarna merah.

"Lagi ngapain, mas?" kata gue membuka percakapan sambil nyengir-nyengir.

Mas-mas yang mungkin berumur sekitar 30 tahunan itu, pelan-pelan memalingkan wajahnya dan menatap gue tanpa ekspresi. Detik selanjutnya baru gue sadari kalau ternyata mas-mas ini punya kumis dan bulu hidung yang menyatu perlahan. Rasanya gue pengen tepok tangan karena takjub, tapi nggak jadi karena takut digebuk pake kaleng krupuk.

"Mau makan." Jawabnya singkat. Dia lalu sibuk mengetik sesuatu di blackberry-nya.

"Oh.." Gue menjawab pelan. "Hari ini rame ya yang makan siang, mas?"

Ada jeda beberapa saat sebelum akhirnya dia memalingkan wajahnya ke gue dan kembali menjawab.

"Iya, rame."

"Kok bisa ya, mas?"

"Saya nggak tau."

Mungkin buat dia sekarang, gue dan pertanyaan-pertanyaan gue yang nggak penting tadi udah jauh lebih ngeselin daripada babi-babi ijo yang ada di angry bird.

Lalu tepat sebelum gue kembali mengajak mas-mas itu ngobrol, datanglah seorang bapak-bapak berpakaian necis yang memakai gelang emas. Badannya sedikit bongsor dan berperut buncit. Sekilas tampilannya mirip debt collector yang susah buang air besar.

Dia lalu duduk di kursi yang ada di depan mas-mas yang tadi. Dan tanpa aba-aba, si mas-mas itu berbisik dengan suara yang rada kuat (bingung kan lo ngebayanginnya gimana? ya pokoknya gitu deh ye) kepadanya. Karena suaranya rada kuat, jadi gue bisa dengar.

"Itu lho mas. Cowok yang godain aku daritadi, yang aku bilang di BBM tadi." Kata si mas-mas.

"Oh, itu orangnya?" jawab si bapak-bapak.

...

...

...

Kampret.

Double kampret.

Secara naluriah, gue pun langsung mengambil hape dan mulai pura-pura nelepon pacar, tepat sebelum itu bapak-bapak ngeliatin gue dengan tatapan tukang tagihya. Gue nggak ngerti mereka punya hubungan apa, tapi dituduh ngegoda mas-mas brewokan itu rasanya sangat menyakitkan buat gue. Rasanya lebih menyakitkan daripada dituduh nyuri sendal pas jumatan. Dan gue nggak ngegodain dia, gue cuma ngajak ngobrol woy! 

Demi menyelamatkan diri, gue lalu berjalan ke depan warung padang dan kabur secepat kilat buat balik ke kosan. Gue nggak mau masuk koran lampu merah dengan headline 'seorang pengangguran digebukin debt collector karena kedapatan menggoda seorang mas-mas yang kegeeran'.


Well..

Setelah kejadian itu gue pun sadar kalo ternyata gue sering bener mengalami kejadian abusrd kayak gini. Dan udah cukup lama pula gue nggak menuangkannya ke dalam sebuah blog. Kayak yang sering dulu gue lakukan.

Sebenarnya saat ini gue udah punya beberapa blog (yang nggak keurus dan passwordnya lupa) yang hampir kesemuanya berisi tentang tulisan2 fiksi atau puisi2an. Tapi nggak ada yang ceritain tentang kehidupan gue sendiri. Terakhir kali gue ngeblog soal keajdian sehari2 tuh tahun 2006 yang lalu, jaman gue masih polos-polosnya dan baru sekali diselingkuhin (abaikan info barusan).

Yep, udah enam tahun yang lalu.

Makanya, sekarang gue kangen banget untuk berbagi cerita lagi, berbagi tentang kehidupan gue sehari-hari, gue kangen mempelakukan blog sebagai diary gue lagi. Gue kangen berinteraksi dengan orang-orang yang demen bacain postingan ngawur di blog gue.
Dan mudah-mudahan ke depannya ada yang mau nyimak posting-postingan gue yang nggak penting-penting amat di sini, di blog sederhana ini.

Mudah-mudahan juga blog ini bisa diupdate dengan rutin, nggak seperti nasib para pendahulunya yang sudah nggak terurus lagi. Layaknya istri pertama yang nggak terlihat menarik karena males cukur dan gemar memanjangkan bulu hidung (abaikan lagi ini).

Ya gitu aja. Mohon doa restunya. Semoga blog ini membawa berkah. Semoga yang baca post ini dari awal sampe abis dimurahkan rejekinya. Amin.





Yeay!

Smell you later, people!