pict taken from here
Aku sedang duduk di sebuah kursi yang terbuat dari batang besi mengkilap sambil memegang cangkir plastik berisi kopi yang telah dingin dengan tangan gemetar. Entah sudah berapa puluh kali aku memalingkan kepala ke kanan dan kiri, mencoba mencari tanda-tanda kedatangannya.
Tak lama kemudian, pelan-pelan kudapati dirinya berjalan
mendekat sambil menunduk dan bersenandung pelan. Aku mendapati rambut ikalnya
semakin panjang dan lebih mengkilap sekarang, sejak terakhir kali kami bertemu
tepat sebulan yang lalu di sebuah cafe bernuansa kelam di tengah kota. Wajahnya
yang cantik juga sekarang terlihat semakin cantik dengan tidak manusiawi. Iya,
memang akan selalu ada alasan untuk bisa mengagumi fisiknya yang hampir
sempurna.
Sampai di dekatku, tanpa mengatakan apa-apa, dia lalu duduk
di spasi kosong yang ada di sebelahku. Jaket beludru panjang berwarna coklat
yang dia kenakan, terjurai halus hingga menutupi sepasang kaki jenjangnya yang
mulus hingga ke paha.
Aku lalu mengamatinya. Mengamati dirinya seolah-olah bocah
kecil yang baru pertama kali melihat mainan mahal yang dia dapatkan dengan penuh
kekaguman, dengan penuh kasih sayang yang teramat besar.
“Kenapa kamu melihat seperti itu?” tiba-tiba dia melirikku
melalui ujung matanya.
Aku tidak menjawab, hanya tersenyum. Bersyukur.
Sebuah kereta listrik lewat melintasi rel-rel baja yang
berada di depan kami dengan sangat cepat. Suaranya yang bising terdengar
seperti orkes tukang besi yang memukul drum dengan asal-asalan, namun tetap terasa penuh
harmoni. Dan entah bagaimana caranya, suara itu terdengar nyaman di telingaku
yang cukup akrab dengan keheningan beberapa tahun ini.
“Bagaimana kabar dia?” Aku membuka suara, memulai percakapan.
Ada tarikan nafas lumayan panjang sebelum dia menjawab, “tumben
kamu nanyain dia? Dia baik-baik aja.”
“Dia tahu kamu datang menemuiku?”
“Tidak. Dia tidak harus tahu. Lagipula aku cuma sebentar.”
“Sebentar? Kamu mau ke mana lagi? Aku sudah menunggu tiga
jam lebih di sini.”
Perempuan itu lalu menatap wajahku untuk pertama kalinya
sore itu, “sejak kapan kamu mau peduli dengan apa yang aku lakukan? Lagipula,
aku tidak pernah meminta kamu untuk menunggu.”
Lalu seketika ada semacam tamparan kuat dari tangan raksasa
mabuk yang aku rasakan di dalam hati. “Aku selalu peduli pada kamu. Selalu. Dan aku tahu kamu juga
demikian, makanya kamu datang sekarang.”
“Jangan sok tahu.” Jawabnya.
“Aku selalu tahu.”
“Lalu ke mana aja kamu waktu dulu aku sedang butuh-butuhnya!?
Ke mana?! Jawab!” Lagi, emosi menguasai wajah cantik di hadapanku ini. Matanya
pun terlihat mulai basah, seperti biasa, seperti tiap kali kami berbicara.
Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Aku tahu, menjawab
itu tidak akan membuatnya merasa lebih baik. Mungkin ini hukuman yang harus aku
terima atas salah yang pernah aku perbuat di waktu sebelum ini.
“Diam, diam, diam, diam dan diam! Selalu diam! Sampai kapan
kamu mau diam seperti itu?!” Teriaknya dengan penuh emosi.
Teriakannya kali ini mampu menarik perhatian sepasang abege
yang sedang duduk berduaan tidak jauh dari kami. Aku tahu, saat ini mereka
sedang menajamkan pendengaran dan mencoba menyimak diam-diam apa yang sedang
kami bicarakan.
“Kamu bertanya sampai kapan? Sampai kamu mau mengerti, kalau aku ini bernafas untukmu. Bertahan hidup demi kamu. Jadi kumohon tetaplah di sini, dan mulai menerimaku.”
“Tidak!” Dia mulai terisak.
“Aku tidak pernah memaksa kamu untuk melakukan apapun, aku
hanya ingin kamu mengerti, dan mulai menerima keberadaanku lagi.” Sambungku dengan
tangan gemetar. Cangkir plastik yang tadi kugenggam kini telah berada di lantai
dan menumpahkan semua isinya. Berantakan.
“Diam!”
“Bukannya kamu yang minta aku untuk berbicara? Ini aku
bicara. Ini aku katakan apa adanya.”
Wajahnya memerah. Scraft yang dia pakai untuk melindungi
lehernya dari dingin, kini sudah basah oleh air mata. Mulutnya terbuka setengah,
namun tak ada kata-kata yang keluar dari sana. Hanya suara isak pelan yang coba
dia tahan sejak tadi.
“Katakan apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus berdarah
untukmu? Mengorbankan nyawaku? Katakan. Apapun itu.. asal kamu mau mulai mencoba
menerimaku.”
Kali ini dia terisak lebih dalam. Badannya menunduk, memeluk
kakinya yang dia angkat ke atas kursi. Aku membiarkannya menangis. Membiarkan dia
mulai akrab dengan kenyataan, sambil diam-diam berharap kalau akhirnya dia mau
mencoba menerima semuanya.
Sebuah kereta listrik melintas cepat dari arah kota. Suara bising
itu kembali terdengar. Kebisingan sesaat yang terasa lama dan memaksa aku dan
dia untuk diam dan berpikir kembali tentang hitamnya waktu sebelum ini.
“Kenapa kamu harus datang, setelah aku pikir kamu sudah
pergi?”
“Karena selamanya kita tidak akan pernah bisa terpisahkan.”
“Nggak! Selama ini aku bisa tanpa kamu. Seharusnya setelah
ini aku juga bisa tanpa keberadaan kamu. Aku dan dia bisa hidup tanpa kamu!”
“Tapi aku yang tidak bisa hidup tanpa kamu lagi.”
Dia terdiam kembali.
“Aku bernafas untukmu. Dan biar waktu yang memisahkan kita. Biarkan
waktu yang melakukan itu untuk kita. Bukan kamu, dia, atau aku. Atau siapapun.”
Dia masih diam.
“Cobalah mengerti.. karena selamanya rasa ini takkan
berhenti.”
Aku lalu memeluknya erat. Dan berharap semoga ini bisa mencairkan semua kebekukan dan melunasi rindu yang sudah sangat besar di antara kami berdua. Dia pun menangis lebih dalam, dan membalas pelukanku dengan lebih erat.
Aku merasa kembali hidup.
Dan aku tahu kau juga merasakan hal yang sama di sana, di
balik pilar-pilar raksasa penyangga langit-langit bangunan ini. Aku tahu kau
sedang menangis karena dulu pernah memisahkan kami berdua. Aku tahu kau
melakukan itu karena kesalahan besarku yang dulu, yang meninggalkanmu.
Tapi aku juga tahu betapa bahagianya kau menyaksikan dua
orang yang paling kau sayangi ini sedang berpelukan untuk pertama kali. Aku-suamimu, dan dia-putri kecilmu yang kini sudah secantik kamu.
cerita pendek ini terinspirasi dari lagu Peterpan - cobalah Mengerti
wow...
BalasHapusluar biasa...
Keren banget! Suka sekali sama pengaplikasian lirik lagu ke dalam percakapannya!
BalasHapus